Jumat, 03 Februari 2012

Empat Pahlawan Katolik

Selain Soegijapranata dan Kasimo, yang bergelar Pahlawan Nasional adalah tiga militer Katolik: Agustinus Adisutjipto, Ignatius Slamet Riyadi, dan Yosaphat Soedarso. Kemudian masih ada pahlawan seniman: Cornelius Simanjuntak.

Laksamana Madya Yosaphat Soedarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 24 November 1925 dan gugur bersama tenggelamnya KRI Macan Tutul dalam pertempuran Laut Aru melawan Belanda pada 15 Januari 1962. Pertempuran itu menjadi bagian dari Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) dengan Komando Mandala dalam rangka merebut Irian Barat. Sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, ia terjun langsung dalam operasi itu, sebab Panglima Mandala Mayor Soeharto juga berada dalam KRI Harimau yang dikomandani Kolonel Soedomo.

Seperti Mgr Soegija, Kasimo, dan Cornel Simanjuntak, Yos juga pernah belajar di Sekolah Guru Muntilan. Yos menikah dengan Josephine F. Siti Kustini dan dikaruniai lima anak. Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional, tahun 1973. Nama Yos Soedarso diabadikan menjadi nama armada Angkatan Laut Indonesia dan nama sebuah pulau di wilayah Kabupaten Mappi, Provinsi Papua, yang juga dikenal dengan nama Pulau Dolok, atau Pulau Frederik Hendrik pada zaman Belanda.

Sebagaimana Yos, Marsekal Muda (Anumerta) Agustinus Adisutjipto dan Brigadir Jendral (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi juga gugur dalam tugasnya. Adisutjipto, kelahiran Salatiga 3 Juli 1916, gugur di Dusun Ngoto, 29 Juli 1947, sepulang dari Malaya dalam misi membawa obat-obatan. Pesawat Dakota VT-CLA yang ditumpanginya, bersama Komodor Muda Udara Prof Dr Abdurahman Saleh, Opsir Udara I Adisumarmo, serta beberapa awak jatuh ditembak dua pesawat Belanda.

Adi dimakamkan di Pemakaman Kuncen, lalu dipindahkan ke Monumen Perjuangan di Ngoto, Bantul, DI Yogyakarta. Adi dikenal sebagai pendiri Sekolah Penerbang di Yogyakarta, tepatnya di Lapangan Udara Maguwo (sekarang, Bandara Adisutjipto). Ia digelari Pahlawan Nasional pada 9 November 1974.

Pada 29 Juli 2011 Uskup Agung Semarang, Mgr J. Pujasumarta, memimpin Misa di Monumen Perjuangan Ngoto. “Ia berdarah-darah dan mati muda untuk menyelamatkan seluruh bangsa dari kehancuran, agar manusia menjadi anak kemerdekaan,” katanya.

Sedangkan Slamet Rijadi gugur di depan gerbang Benteng Victoria Ambon, Maluku, 4 November 1950 pada usia 23 tahun. Slamet berangkat dengan Kapal Waikalo dan memimpin Batalyon 352 untuk bergabung dengan pemimpin umum operasi Panglima TT VII Kolonel Kawilarang untuk menghadapi pemberontakan Andi Aziz di Makassar dan Republik Maluku Selatan (RMS).

Slamet adalah pencetus pasukan khusus TNI yang kemudian dikenal dengan Kopassus. Slamet mengambil prakarsa Serangan Umum Surakarta, pada 7 Agustus 1949. Ia diusulkan menjadi Pahlawan Nasional sejak 1954. Pemerintah baru menggelarinya pada 9 November 2007, berikut anugerah Bintang Mahaputra Utama. Tiga hari kemudian, KSAD Jenderal Djoko Santoso meresmikan patung Ignatius Slamet Rijadi di Jalan Slamet Rijadi, jalan raya yang membelah Kota Solo, Jawa Tengah.

Selain ketiga militer itu, Cornel Simanjuntak juga merupakan pahlawan Katolik. Ia dikenal karena menciptakan lagu-lagu nasional, seperti Maju Tak Gentar, Indonesia Tetap Merdeka, dan Indonesia Bersatulah. Ia gugur tertembak Belanda pada 15 September 1946. Tanggal 10 November 1978, jasadnya dipindahkan dari Pemakaman Kerkof ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pada nisannya ditambahkan tulisan “Gugur sebagai seniman dan prajurit tanah air.”


sumber: hidupkatolik.com

0 komentar:

Posting Komentar